Laman

Jumat, 07 Agustus 2009

Dibawah Naungan Patromak

Dibawah naungan patromak menyambut malam yang terhenyak, mentari pun kini reda seiring redupnya sinaran.

Segelitik ayam berlari kedalam sangkar dimana mereka tidak tampak melihat jelas seiring dengan redupnya mentari menyambut malam.

Saat mereka menikmati indahnya gelap malam dengan sinaran yang berderang, sementara banyak yang masih dalam kegelapan terus dan terus menemani malam.

Bermodalkan patromak yang setia menemani malamnya, mereka mengadu serta merta terperang dalam terus kegelapan yang mencekam.

Kenikmatan malam mereka rasakan dengan kegelapan sinaran hutan, nan jauh mereka memandang hanya kegelapan yang tetap menghadang.

Dibawah sinaran patromak mereka meniti gelapnya malam, makan, belajar dan tidur pun mereka senantiasa berada dalam diri tak berdaya dengan segelincir sinaran patromak.

Kekayaan ini, bukan untuk kami melainkan hanya untuk para hartawan yang tak bisa merasakan bagaimana hidup dalam riuhnya gelap malam.

Tergelitik siaran yang menggemakan digelapnya malam tapi itupun hanya berisikan gulita riuhnya malam nan tertidur dalam kelam.

Rumah berjalan dalam sinaran patromak yang berkali-kali padam karena kehilangan minyak tanah yang kini entah kemana itu berada.

Kota penuh dengan gemerlap dan terang benderang sinaaran yang senantiasa berada dalam gempita malam, tapi kami hanya bisa terus berdoa selama kami masih bernyawa berharap itu ada, yaitu sinaran yang menerangi malam kami dalam kegelapan hutan dan selalu dibawah sinaran patromak.

Mata tersendung, kaki buntung oleh lubang yang menghadang, hanya karena malam yang tetap meradang dengan kegelapan.

Sinaran terlihat hanya dalam jarak puluhan kilo meter itupun nan jauh disana sampai terkilir melihatnya yang terlunta-lunta dalam riuh malam.

Jatuh dan terus terjatuh saat malam menghadang dan hanya beralaskan sebuah patromak yang senantiasa merindu saat malam datang.

Mereka jauh di kota sana menikmati sinaran yang terus benderang tapi kami jauh dipelosok hanya beralaskan sinaran patromak yang kini hanya satu-satunya yang dimiliki.

Merek jauh di kota sana hanya tinggal menekan sana-sini maka riuhlah dengan sinaran yang jauh gemerlap, lihatlah kami dipelosok yang jauh nan jauh terlantar dari sinaran tak kebal oleh kemegahan dan kekayaan negeri kita tercinta Indonesia Raya.

Dibawah naungan patromak kami meniti air mata yang terus tercucur oleh karena tak berdaya mata untuk menatap gelapnya malam tiada berkunang-kunang.

Disini dari kami di pelosok dalam gelap mereka yang di kota tertawa dalam sinaran, sinaran tak terjamah oleh sinaran hanya tertawa dikala mentari menyinari tanah kami tercinta ini, tanpa ada yang tahu bagaimana berada ditengah-tengah gelapnya sinaran yang bagi kami itu amat mahal sehingga hidup pun kami ter-engah-engah.

Pembangunan disana-sini, gedung pencakar langit tegak berdiri menantang tinggi langit biru tapi tidak bagi kami dimana sinaran itu mahal dan bahkan hal yang mustahil.

Menelusuri dahan pepohonan, lalu lalang dalam gelapnya hutan dan berpijak dibawah sinaran patromak yang senantiasa menemani kami disini.

Dibawah Naungan Patromak kami layak untuk tetap nyenyak walaupun hati kami terkoyak oleh semua hal yang kami anggap sebagai bahan yang banyak sementara kami tetap terhenyak oleh hati kami dan gelap kami terbahak dalam sinaran patromak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar